18 Sep 2008
Cermin ...
SEPENGGAL KISAH :

Dengan ini aku mau merekonstruksi peristiwa malam dinihari di rumah kamu, peristiwa itu begini :

Bersama Roni, aku bertandan ke rumahmu untuk melunasi janjiku tentang literatur yang kamu perlukan. Setibaku di depan pintu rumahmu, aku ketuk. Tidak lama kemudian Wiwin membukakan pintu lalu mempersilahkan aku masuk. Aku tidak masuk, hanya berdiri bersandar pada dinding depan pintu karena aku akan bergegas.

"Ada Yulia ?" tanyaku pada Wiwin

"Ada ... silahkan masuk" jawab Wiwin sambil mempersilahkan aku & Roni masuk.

"Yuliaaaa ... ada yang cari kamu !!!" teriak Wiwin di depan kamar mandi sambil mengetuk pintu.

"Siapa ?" tanyamu dari dalam kamar mandi.

"Kak Andi" jawaban singkat dari Wiwin.

"Netti aja ...!" "Kamu bilang aku ada ... ?" saran dan tanyamu kemudian pada Wiwin.

Wiwin masuk ke kamar Netti dan tidak lama kemudian Netti keluar. Saat itu, aku langsung kasih buku pada Netti untuk disampaikan pada kamu. Tapi lantaran Netti bertanya ini dan itu, maka aku tertahan dan tidak jadi bergegas pergi. Lantas tak lama kemudian kamu keluar dari kamar mandi dan sepertinya kamu tidak tahu kalau aku dan Roni masih tertahan di ruang tamu. Saat itu kamu ingin pergi ke kamar Wiwin (yang harus melewati ruang tamu dan mau tak mau tidak bisa menghindar dari kedatanganku). Hanya sapaan singkat yang bisa kamu lakukan saat itu lalu kamu pergi ke kamar Wiwin. Tak lebih dari 5 menit kemudian aku & Roni bergegas pergi dari rumahmu.

Apakah yang menarik dari peristiwa dialog-dialog di atas ?

Aku pikir, hanya orang yang buta pikiran dan perasaan saja yang tidak akan memikirkan dan merenungkan bahasa seseorang yang secara langsung atau tidak langsung ditujukan pada dirinya. Sebab bahasa mengekspresikan perasaan, pikiran dan keinginan serta harapan-harapan dari si penutur.

Aku bukan orang semacam itu, dan aku belum tuli pada saat kamu berdialog dengan Wiwin pada malam itu "aku dengar, pikirkan, renungkan dan berupaya memahami untaian kata-katamu saat berdialog dengan Wiwin".

Adalah dua kalimatmu yang ku highlight di atas yang telah melahirkan surat ini. Kedua kalimatmu itu telah kurenungkan & kucari "apa yang tersembunyi di belakang atau yang tak terucapkan" yang telah melahirkan kalimatmu.

Kedua kalimatmu -yang ku highlight di atas- tidaklah terpisah, malah saling mendukung dan melahirkan makna "penyangkalan, pengelakan dan penghindaran terhadap keberadaanku (eksistensiku)".

Kedua kalimatmu bersama makna yang dilahirkannya, merajam sukmaku dengan sangat dan menyadarkan aku. Bahasamu membuat aku begitu payah, dan aku merasa tak berguna, bahkan secuilpun ... tidak berguna. Demi Allah, jangan kamu hubungkan aku dengan kebaikan-kebaikan. Aku takut kepada Allah, karena DIA dan RASUL-NYA melarangku menghitung kebaikan-kebaikanku. Sekali lagi, Demi Allah yang menguasaiku, aku tak bermaksud demikian.

Hingga saat ini, semenjak aku mengenal hidup dan kehidupan, aku selalu mencari dan berusaha memiliki makna diri dan eksistensiku bagi orang lain. Itu semata karena Allah, sebagaimana aku selalu ucapkannya di dalam doa Iftitah di setiap shalatku atau pun dalam niatku.

Kalimat "aku sayang kamu" yang seringkali ku ucapkan padamu dalam setiap kesempatan, bukanlah sesuatu yang omong kosong, bukan gombal, bukan kata-kata biasa dan tanpa muatan "emosional". Kata-kata seperti itu adalah luar biasa, penuh emosi dan kupilihkan hanya pada orang-orang tertentu, seperti kamu. Aku tulus ...

Tetapi dua kalimatmu -yang ku highlight di atas- telah dan terlampau mencabikku. Aku merasa tak berguna bagimu.

Kamu boleh menudingku terlalu cengeng untuk hal ini dan karena itu tidak pantas. Aku bukan orang Jawa, Banjar, Batak, maupun Bugis. Tetapi di atas segalanya, aku adalah manusia biasa, tak punya apa-apa dan terakhir ini aku merasa "terancam" setelah retak hubungan dengan orang tua-ku, lalu tak punya siapa-siapa (untuk sementara waktu ?). Apa yang kutuangkan dalam carik ini, hanyalah fakta dari sisi feminisku yang terberi. Hanyalah paparan perwujudan dari sisi feminisku dan ekspresi yang jujur dari suasana hati yang muncul lantaran perasaan dan pikiran "ketidak-bergunanya" keberadaanku dihadapanmu.

Andai benar penafsiranku atas kedua kalimatmu -yang ku highlight di atas- , maka aku merasa goblok karena lambat menyadari bahwa sesungguhnya aku tidak bermakna, tidak berguna bagimu.

Simpanlah, dengan tanpa maksud berkelakar, carik-carik ini, mungkin kamu dapat menggubahnya menjadi sebuah cerita pendek atau cerita mini (cermin). Tetapi, jika kamu pikir ini pun tidak berguna, bakarlah.

Bila kamu ingin menemuiku lantaran ini, aku hanya ingin berdua. Dengan tanpa maksud apa-apa. Jika aku tak ada di tempat, titiplah pesan dan aku akan mencarimu. Tetapi, jika ini pun kamu pikir tak berguna, aku minta maaf dan permisi.

Pernahkah kamu merasa tak berguna bagi orang lain ? Jangan pernah, jika belum pernah. Sedikit pun, jangan pernah, karena rasa ketakbergunaan diri di hadapan orang lain, boleh jadi rasa itu "melenyapkan semangat hidupmu", dalam hitungan menit saja.

Dua kalimatmu - yang ku highlight di atas- menyadarkan aku bahwa wanita hanya lemah lantaran posisinya dalam struktur sosial. Tapi sesungguhnya, wanita juga memiliki sisi maskulinitas yang luar biasa ketika sisi itu menjadi dominan dalam dirinya.

Lantaran bersaingnya sisi maskulin dan feminis untuk saling mendominasi, maka diperlukan sesuatu yang mampu menjembatani dan memadukan keduanya menjadi harmoni. Sesuatu itu selain Tuhan itu sendiri. Aku telah sampai pada "sesuatu" itu, saat kedua kalimatmu tiba-tiba menerobos lalu mencabik "sesuatu" itu. Tapi aku masih bertahan, tetap mempertahankan itu dan tak pernah kudidik diri untuk menyesali apa yang kuperbuat berdasarkan pilihan-pilihan yang telah kupertimbangkan sebelumnya.

Sisi maskulin dan feminis, ada pada setiap kedirian laki-laki dan perempuan, setiap orang, tak peduli suku, agama, jenis kelamin, status ekonomi, pendidikan atau dari kelompok sosial manapun. Karena itu adalah sesuatuyang inheren pada diri (self), tinggal bagaimana mengelolanya.

Aku merasa masygul, kupikir kita akrab secara psikologis dan secara sosial. Semangat mengejar dan menempuh jalur akademis yang lebih tinggi lagi telah lama bangkit dalam diriku. Tetapi semangat itu kian bertambah dan kokoh, dan aku terkendali dalam semangat untuk mengatasi semua masalah-masalah yang menimpaku pada waktu belakangan ini, saat aku merasa berada dekat secara psikologis dan sosial dengan kamu. Kini aku tersudut pada nanar yang luar biasa. Entahlah ...

Belum pernah aku merasa seperti ini pada seseorang sebelumnya.

~based on true story from someone~


Label:

posted by Utami @ 16.01  
0 Comments:

Posting Komentar

<< Home
 
 
About Me


Name: Utami
Home: Balikpapan, Indonesia
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Template by
Blogger Templates